CaPer "RN 285" Part II
Mapping perburuan makhluk “RN 285” telah dipetakan. Andaikan
kelak dia jadi milikku, ibarat orang menikah, aku bakalan serius
mennyuntingnya dengan status “kawin resmi”. Akan kupasrahkan gawe suci
pada kebaikan budi agen berjalan sebagai mak comblang perjodohan ini.
Aku tak mau menyandarkan diri pada tangan-tangan jahat sarkawi. Itu sama
saja dengan “kawin lari”, menikah tanpa surat legal, tanpa pengakuan
dari otoritas lembaga berwenang.
Dua Minggu Kemudian…
14.02
Berondongan
peluru-peluru cair dalam ikatan H2O semakin deras menghujam bumi usai
Agra Mas jurusan Tanjung Priok-Karawang Timur membayar pajak atas
penggunaan jalan tol di gerbang
exit Karawang Barat.
Banjir
kecil pun tercipta di beberapa titik Jalan Raya Badami. Gumpalan awan
colombus masih mengepung hamparan awang-awang, seolah menguji nyali dan
ketahanan mentalku agar jangan menciut.
Telah aku tepis zona nyaman yang diselenggarakan Pulogadung, Rawamangun ataupun Tanjung Priok kala berutinitas pulang
ngetan.
Aku
belum menggenggam secarik tiket, masih abu-abu tentang nasib trip ini
nanti. Tak kugubris taksiran waktu tempuh, kisaran tarif maupun kadar
pelayanan
unplanned bus andai kisah “arjuna mencari cinta”
meleset. Dan ini adalah belantara Klari, yang kubabat dan kubangun
sebagai landas pacu pertama demi tereksekusinya ritual terbang menjelang
akhir pekan.
Rolet ini ibarat perjudian, penuh
spekulasi, main untung-untungan, mengandalkan insting semata. Semua ini
kulakukan demi nyai…eh, “RN 285” maksudku.
Berkat
hantaran angkot warna biru jurusan Klari-Cikampek, sampailah aku di
seputaran pertigaan lampu merah Klari, yang merupakan jalur
in out kendaraan yang hendak menuju/ keluar Tol Cikampek melalui loket Karawang Timur.
Shortcut maya ini mulai dilirik para pengemudi
intercity, setelah
exit Dawuan maupun Cikopo kerapkali dibekap kemacetan di saat bubaran jam kerja.
Dan detik-detik inilah petualangan pertaruhanku dimulai. Sukseskah berkimpoi dengan “RN 285”, ataukah malah gigit jari termakan sumbarku sendiri?
14.38
Keyakinan itu menyeruak kala bus yang pertama kali hadir adalah Sedya Mulya, AD 1451 CG, yang dua minggu sebelumnya aku kecap
real taste of Wonogiren-nya.
Moda jatah Pademangan itu seakan mengirim pesan bahwa aku tepat berpijak pada
slottime armada-armada Wonokarto.
Kucueki saja klakson yang terkesiur. “Maaf…aku pernah mereguk wangi tubuhmu,” batin ini menolak.
Lima
menit kemudian, giliran saudara mudanya, Sedya Mulya berpakaian Nucleus
3 dengan kelas Bisnis AC, tiba mendekat. Kubentangkan lima jari sebagai
isyarat bahwa aku emoh diajak ber-
ajojing sepanjang malam dengannya.

Lalu terlihat duo Agra Mas, model Ventura dan Jetbus mengarah ke Terminal Klari, tempat
checkpoint sempalan PO Giri Indah itu berada.
Tak lama berselang,
jadoel community yang
lain menampakkan diri. PO Putera Mulya, dengan mesin OH Prima serta
model tubuh non orisinal hasil permakan Sari Murni Body Builder,
Wonogiri. Tembakan lampu dim tak kuindahkan. Andai
mood “
tour sejarah” sedang bergolak, pastilah iming-iming konstanta keklasikan itu akan kuturuti.
Hatiku berdegup kencang. Cemas-cemas harap. Barangkali sudah puluhan kali tri-warna lampu
bangjo berbagi tugas untuk mengedip, namun tak ada bus lain yang kunjung datang.
“Kemanakah gerangan ‘RN 285’? Apakah dia sudah melangkah di depan jauh sebelum aku berdiri di sini? Ataukah dia sudah
fullseat sehingga menghindar
exit Karawang Timur? Ataukah dia lagi
regular maintenance sehingga
offlinedulu?” selarik pertanyaan menghantui benakku.
“Ah…kugelar saja
injury time selama 5 menit. Seandainya rencana percintaan ini kandas, ya apa boleh buat!? Barangkali Dewi Fortuna sedang tidak memihakku!”
Kulirik
agen-agen bus yang berbanjar di belakang punggungku. Garuda Mas,
Madukismo, Pahala Kencana, Rukun Jaya, Nusantara, GMS dan Mulyo Indah
seakan genit menggodaku yang tengah terombang-ambing dalam biduk
ketidakpastian.
15.05
Tiba-tiba..
Tett…tett…tett…
Kutoleh pandangan menyudut pada
traffic light area. Aku terkesima dibuatnya.
Wah…wah…wah…sebuah obyek dengan “jepit rambut” warna coklat susu ber
tagline “Luxury Bus” berpacu dengan fase transisi cahaya hijau menjelma merah.

“Inilah yang kucari!!!”
Secepat
kilat kulambaikan tangan, namun sayang, respon bapak sopir agak telat.
Bus terlambat melakukan pengereman hingga baru benar-benar berhenti
dengan melebihkan jarak ± 50 meter dari posisiku mematung.
Dengan
suka cita, kumantapkan ayunan kaki untuk acara ijab kabul sebagai barang
bukti halalnya hubungan antara manusia dengan makhluk yang digandrungi.
“Kemana, Mas?” tanya sang agen berjalan, yang kini di mataku laksana seorang penghulu.
“Semarang ya, Om”.
“Silahkan, Mas, masih ada yang kosong kok!”
“Berapa
tarifnya, Om?” korekku sekadar berbasa-basi. Padahal, berapapun dia
menyebut nominal, selama masih di bawah angka 200 ribu, aku siap
menyerahkan mas kawin secara tunai, tanpa kutawar sepeserpun.
“125, Mas, sudah termasuk
service makan!”
Sah…sah…sah…

Digiringnya aku menuju kursi pelaminan nomor 33, karena baris depan dan tengah telah berpenghuni. Tak apalah
nyempil di
depan toilet dengan sudut pandang terbatas, yang penting dan sakral,
aku akan merenda jalinan percintaan dengan pasangan yang sangat aku
idam-idamkan selama ini.

Bus dengan nomor polisi AD 1719 AR bergerak maju secara perlahan,
nyante dan
kalem. Dua tambahan penumpang didapat di daerah Purwasari, Tamelang.
Dan jumlah yang sama pula diperoleh di Jl. Ahmad Yani, Cikampek. Satu
rezeki plus kembali diraih di Jl. Stasiun Dawuan, hingga menyisakan
bangku terakhir di sudut belakang.
Di samping Mal
Cikampek, agen berjalan pun paripurna bertugas untuk hari itu sembari
pamit kepada kru. Lewat media telepati, kutitipkan kata terima kasih
akan sumbangsihnya, dan semoga dia mendengar kalimat sanjung puji ini.
15.35
Finally, last seat itu
berpenduduk kala seorang pemuda menyetop di depan garasi Warga Baru,
Kaliasin, Pangulah Utara. Laris manis tanjung kimpul, tampilan manis
penumpang
ngumpul.
Hehe…
Dihibur aksi
panggung duet Mbak Eny dan Mas Irul dalam kemasan Djandut (Djaranan
Dangdut) Orkes Melayu Sagita Assololey, nyata-nyata menggairahkan
suasana. Dua unit LCD TV yang terbenam di dalam kabin setidaknya bisa
mengalihkan perhatian dari
alon-alonnya pusingan enam ban yang menyangga sasis
ladder frame bikinan prinsipal Hino Motors Indonesia ini.
Langit berpayungkan mendung pekat mengiringi
joyride bersama Sedya Mulya. Busku hanya jadi garda bagi
medium bus bermodelkan Tourista, PO IKF, E 7532 PA.
Jalan
Pantura mulai menunjukkan nestapa kerusakan di sana-sini, gara-gara
dicuci genangan air hujan, dikucek tapak-tapak roda angkutan tonase
berat. Di tengah rintik gerimis, terlihat sekawanan alat berat;
asphalt finisher,
tandem roller serta
pneumatic roller, sibuk bekerja mengaspal ulang badan jalan di distrik Balonggandu, Jatisari.
Di Pasar Cikalong, nego alot sempat terjadi dengan nomine
sewa.
Entahlah, ketidakcocokan itu karena harga, ataukah posisi tempat duduk,
sehingga dia batal menggunakan jasa bus berteknologi diesel
konvensional ini.
Lalu lintas sore itu senyap, tak
banyak kendaraan berseliweran. Rumah Makan PO Haryanto juga kosong
melompong, tak satupun bidak yang dijuluki “
the fastest bus on South East Asia” itu menampakkan wujud.
Yang justru mendatangkan keprihatinan, di bawah guyuran hujan, dua cewek ABG bermotor
matic dengan dandanan seronok, tanpa helm dan kelengkapan motor yang memadai, dengan asyiknya bercanda di atas motor.
Mereka
tak menyadari, manuver-manuver setang kemudi telah menyulitkan laju
pengguna jalan yang lainnya. Semoga mereka bukan bagian dari suku
kimcil, atau bangsa
cabe-cabean ataulah nama-nama yang lain… yang saat ini tengah jadi pembahasan hangat di Komisi Perlindungan Anak.
bersambung...